Peninggalan Kerajaan Majapahit (Foto: MPI) |
GARIS KOMANDO, Jakarta – Lembu Sora menjadi seseorang yang disebut-sebut sebagai abdi dalem sekaligus pendamping yang setia kepada pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya. Namun, Lembu Sora justu tewas dikeroyok tentara Majapahit dengan tudingan pengkhianat.
Kedekatannya dengan Raja Majapahit, membuat Lembu Sora lolos dari beberapa rangkaian hukuman yang seharusnya diterimanya. Salah satunya saat dia menikam Kebo Anabrang hingga tewas. Padahal, saat itu Kebo Anabrang tengah melawan biang keladi pemberontakan Ranggalawe.
Kala itu, Lembu Sora tak berdaya melihat keponakannya diringkus Kebo Anabrang. Dalam buku “Sandyakala di Timur Jawa 1042-1527 M Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Hindu dari Mataram Kuno II hingga Majapahit” karya Prasetya Ramadhan, kala itu Raden Wijaya tak pernah ambil pusing dengan tindakan Lembu Sora.
Padahal menurut undang-undang Kutara Manawa Dharmsastra, yang dijadikan pegangan dalam pemerintahan Majapahit, Lembu Sora seharusnya dihukum mati berdasarkan pasal astadusta. Lembu Sora menjadi pembicaraan di Istana Majapahit, sikap Raden Wijaya dituding tak adil.
Namun lambat laun, pembicaraan itu mulai meredup. Bahkan pasca dinamika itu hubungan antara Raden Wijaya dengan Lembu Sora kian baik. Pada teks Panji Wijayakrama menunjukkan, betapa hubungan kedua orang itu tak dapat dipisahkan. Terutama sejak pertempuran mereka melawan serbuan penguasa Gelang-gelang, Jayakatwang ke Singasari. Pada berbagai kesempatan, Lembu Sora selalu memberikan nasihat bijak kepada Raden Wijaya.
Serangan balik malam hari terhadap tentara Gelang-gelang yang menduduki Singasari, juga atas saran Lembu. Pada serangan itu, Raden Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Tribhuwana yang sebelumnya tertahan pasukan musuh.
Lembu Sora jugalah yang menahan Raden Wijaya ketika bersikeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara yang masih tertinggal di pura. Dia menasehati agar Raden Wijaya dan istrinya Tribhuwana, menyelamatkan diri. Pasalnya kekuatan tentara Kadiri jauh lebih besar jumlahnya daripada sisa tentara Singasari.
Bahkan ketika mereka akhirnya memutuskan mengungsi ke Madura Timur, untuk meminta bantuan kepada Bupati Wiraraja. Semua itu atas nasehat Lembu Sora. Lembu Sora menyebut bila tetap melakukan perlawanan kepada pasukan lawan, ibarat bunuh diri.
Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaannya, baik dalam persiapan mendirikan Majapahit, maupun dalam perlawanan terhadap Jayakatwang dan pasukan Mongol. Maka tak heran bila dan selayaknya Lembu Sora menjadi orang dekat Raja Kertarajasa, gelar Raden Wijaya raja pertama Kerajaan Majapahit.
Tak heran pula Raden Wijaya memberikan tempat terhormat pada pemerintahan. Dalam prasasti Sukamreta tahun 1296, tertulis nama Rakryan Demung Majapahit, adalah Mpu Renteng, sedangkan Mpu Sora menjabat sebagai Rakryan Patih Daha, atau patih bawahan di Kadiri. Keputusan Raden Wijaya tersebut, kabarnya memicu pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1295.
Ranggalawe berpendapat bahwa Lembu Sora lebih pantas diangkat sebagai Rakryan Patih Majapahit, dari pada Nambi. Namun meskipun Ranggalawe adalah keponakan Lembu Sora, tetapi Lembu Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan Mpu Nambi sebagai patih Majapahit.
Cerita kesetiaan Lembu Sora berakhir tragis dicap sebagai pemberontak. Kematian Lembu Sora menurut Pararaton, terjadi pada tahun 1300 yang diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka.
Menurut Pararaton kematiannya terjadi pada pemerintahan Jayanegara, sedangkan menurut Kidung Sorandaka terjadi pada pemerintahan Raden Wijaya. Dalam hal ini pengarang Pararaton kurang teliti karena menurut Nagarakretagama, Jayanegara naik takhta menggantikan Raden Wijaya baru pada tahun 1309.
Lembu Sora ikut serta dalam pasukan Majapahit yang bergerak menumpas pemberontakan Ranggalawe di Tuban tahun 1295. Dalam pertempuran di Sungai Tambak Beras, Ranggalawe mati di tangan Kebo Anabrang. Diam-diam Lembu Sora merasa sakit hati melihat keponakannya dibunuh secara kejam.
Dikisahkan, Lembu Sora berbalik ganti membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Peristiwa pembunuhan terhadap rekan satu pasukan tersebut seolah-olah didiamkan begitu saja. Itu dikarenakan keluarga Kebo Anabrang segan menuntut hukuman pengadilan karena Lembu Sora dianggap sebagai abdi kesayangan Raden Wijaya.
Peristiwa itu akhirnya dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh licik yang mengincar jabatan rakryan patih. Dia menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama Mahisa Taruna supaya berani menuntut pengadilan untuk Lembu Sora.
Mahaptih juga melapor kepada Raden Wijaya bahwa para menteri merasa resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Lembu Sora. Raden Wijaya tersinggung karena dituduh berlaku tidak adil. Dia pun memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan lebih lanjut.
Mahapati segera mengusulkan supaya Lembu Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar.
Setelah mempertimbangkan jasa-jasanya, Raden Wijaya pun memutuskan bahwa Lembu Sora dihukum dengan dibuang ke Tulembang. Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan surat keputusan raja. Lembu Sora sedih atas keputusan itu. Lembu Sora berniat ke ibu kota meminta hukuman mati daripada harus diusir meninggalkan Tanah Airnya.
Mahapati lebih dahulu menghasut Mpu Nambi, dengan mengatakan bahwa Lembu Sora datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas keputusan raja. Setelah mendesak Raden Wijaya, Mpu Nambi pun diizinkan menghadang Lembu Sora yang datang bersama dua orang sahabatnya, yaitu Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Lembu Sora dan kedua temannya itu mati dikeroyok tentara Majapahit di halaman istana.
Cerita dalam Kidung Sorandaka di atas sedikit berbeda dengan Pararaton yang menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Kematian kedua sahabat Lembu Sora tersebut terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara putra Raden Wijaya.