Suasana Sidang Tahunan MPR 2021 yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021). Foto: ANTARA FOTO/Sopian/Pool/ |
Wacana penundaan Pemilu yang diusung PAN, PKB, dan Golkar bergulir luas meski dengan argumentasi yang dinilai lemah. Penundaan pemilu memang diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang disebut Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan.
Namun, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow , menerangkan, penundaan Pemilu seperti diatur dalam UU Pemilu, perlu alasan kedaruratan.
UU mengatur alasan yang bisa dibenarkan adalah kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengganggu tahapan Pemilu.
“Menunda Pemilu bukanlah suatu hal yang gampang. Apalagi tunda Pemilu dalam skala nasional. Selain itu, juga memiliki risiko yang besar sekali. Sehingga tidak boleh sembarangan untuk mewacanakan tunda Pemilu,” jelas Jeirry, Rabu (9/3).
Jeirry menilai, alasan yag dilontarkan elite politik yang ingin tunda Pemilu belum bisa dikategorikan darurat. Misal pandemi COVID-19. Saat ini Indonesia bersiap menuju endemi, lagi pula 2020 Indonesia berhasil gelar Pilkada di tengah pandemi.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menghadiri Sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan |
Sementara alasan tak ada anggaran untuk Pemilu 2024, bisa saja jadi alasan, tapi pemerintah harus transparan. Terlebih ada ambisi pemerintah memindahkan ibu kota.
“Perhatikan juga risiko untuk menunda Pemilu. Namun sampai saat ini, saya belum melihat alasan yang kuat untuk menggunakan kedaruratan UU Nomor 7 Tahun 2017 yang kemudian dijadikan alasan untuk menunda Pemilu,” tutur Jeirry.
Sementara, jika jalan yang ditempuh adalah amandemen UUD, maka prosesnya lebih berat lagi karena sejumlah syarat minimal usulan hingga urgensi amandemen.
“Untuk mengubah konstitusi, tidak boleh serta merta. Tidak boleh sembarangan, harus disertai alasan yang kuat. Jangan sampai mengamandemen UUD hanya untuk memfasilitasi keinginan elite politik atau segelintir orang,” kata Jeirry.
“Apalagi usulan penundaan Pemilu hanya memenuhi keinginan supaya dapat memperpanjang masa kejayaan. Terlebih menggunakan aspirasi rakyat sebagai alasan kuat untuk mendorong perubahan konstitusi. Ini jelas manipulasi,” tambah Jeirry.
Seperti yang diketahui, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen.
- Amandemen UUD 1945 dilakukan pada era Reformasi yang berlangsung pada tahun 1999 hingga 2002.
- Amandemen UUD 1945 dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000.
- Amandemen UUD 1945 dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001.
- Amandemen UUD 1945 dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Aturan Amandemen UUD 1945
Untuk mengamandemen UUD sendiri diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Ketika nantinya usulan tunda Pemilu disetujui, diperlukan mengubah UUD kembali. Adapun isi Pasal 37 UUD 1945.
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.