Bukan Hanya Kasus Vina di Jawa Barat, Rekayasa Kasus Pun terjadi di jajaran Polda Lampung (Dokumen Fotocopy Dijadikan Barang Bukti)

Sigerlink, Lampung — Kepolisian merupakan salah satu Penegak hukum yang berhak secara langsung terlibat dalam bidang hukum yang dilakukan dengan mengutamakan keadilan dan profesionalisme. Penegakan hukum dimulai dari penyelidikan, penyidikan hingga penentapan tersangka.

Terkadang Peran dari kepolisian dalam melakukan penyelidikan tidaklah mulus banyak oknum polisi yang memanipulasi barang bukti bahkan korban dijadikan sebagai tersangka walaupun demikian, tidaklah semua anggota kepolisian yang melakukkan hal bertentangan dengan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (KEPP) yang merupakan norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis dan menjadi pedoman sikap bagi anggota Polri dalam berperilaku dan dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.

Fenomena ketidak seriusan kepolisian dalam menangani kasus seperti yang viral saat ini kasus Pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Vina terjadi Agustus 2016, Remaja Cirebon (Jawa Barat), itu dibunuh bersama kekasihnya, Muhammad Rizky, Total ada 11 pelaku yang terlibat dalam peristiwa tragis tersebut, Namun, baru delapan tersangka yang ditangkap dan diproses hukum, hingga dipidana.

Lemahnya Penegakkan hukum membuat kasus tersebut berlarut-larut hingga diangkat lagi di tahun 2024 saat ini, Melemahnya Penegakan hukum ini tidak hanya terjadi di Jawa Barat seperti halnya di Lampung, dalam hal ini Polda Lampung yang dalam kurun waktu 3 tahun terakhir juga melakukan proses hukum yang dinilai terkesan penuh rekayasa.

Penyidik Polda Lampung saat itu diduga telah melakukan rekayasa kasus pada perkara UU ITE terhadap klien kami (Ramanda Ansori, SH – Red) hanya karena klien kami membantu masyarakat kecil menagih hutang kepada pelapor yang berada di Suoh Kab. Lampung Barat, karena tidak kunjung dibayar maka dibuatlah video dan diunggah melalui social media Facebook, setelah diunggah akhirnya hutang tersebut dibayar dan kemudian klien tersebut dilaporkan ke Polda Lampung.

 

Ramanda Ansori, SH, menjelaskan, Perkara UU ITE yang ditangani oleh oknum Kepolisian Daerah Lampung diduga dengan memanipulasi serta menambah Barang bukti yang bertentangan dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 7 Tahun 2022 tentang kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 10 ayat (1) Huruf (C) yang berbunyi: “merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum”. Juncto Huruf (H) yang berbunyi: “mengurangi, menambahkan, merusak, menghilangan dan/atau merekayasa barang bukti”.

Bahkan lanjutnya, bukan hanya merekayasa melainkan keterangan dari saksi-saksi yang tidak berkesesuaian (kontradiktif) atau bertentangan satu dengan yang lain, terdapat kejanggalan pada keterangan saksi yang seolah-olah memposisikan dirinya sebagai korban pada perkara tersebut, hal ini jelas mengindikasikan bahwa Penyidik dalam meminta keterangan saksi seakan-akan hanya mengcopy paste dari BAP saksi korban dan tidak jeli mendengarkan keterangan Saksi Bahwa bukti yang di serahkan saksi adalah 2 (dua) buah video hasil rekam layar yang menggunakan aplikasi Du Recorder sebagaimana berita acara penyitaan, namun penyidik memasukan 4 (empat) buah video dalam berkas perkara, antara lain 2 (dua) buah video hasil rekam layar dan 2 (dua) buah vidio lainnya dari hasil unduhan.

Bahwa bukti surat yang disita penyidik seluruhnya adalah Fotocopi, yang diserahkan tanpa menghadirkan dokumen aslinya, Dokumen tersebut seluruhnya dapat dikatakan palsu dikarenakan dokumen tersebut juga sudah disanggah oleh saksi yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah membubuhkan atau menandatangani dokumen tersebut, namun keterangan nya diabaikan dan dokumen Fotokopi tersebut tetap masuk dalam berkas perkara.

“Kami selaku kuasa hukum telah melakukan upaya-upaya baik melalui pledoi maupun melaporkan kejanggalan terhadap barang bukti fotocopy dokumen tersebut, namun itu diabaikan, bahkan terkait dengan barang bukti Fotocopy Dokumen tersebut dalam hal ini satu bundel kwitansi yang disita oleh penyidik telah kami laporkan juga terkait dengan pemalsuan tanda tangan yang ada di kwitansi tersebut di ditkrimum Polda Lampung, namun perkara tersebut di hentikan tanpa adanya penyitaan barang bukti yg asli apalagi sampai diuji di lab forensik terhadap objek yg menjadi laporan kami,” jelas Ramanda Ansori, SH.

“Pertanyaan kami sejak kapan di Republik ini Dokumen Fotocopy bisa dijadikan barang bukti tanpa menghadirkan dokumen aslinya,”lanjutnya.

Sedangkan keterangan saksi diabaikan dan kemudian dokumen Fotokopi tersebut tetap masuk dalam berkas perkara. Seharusnya Urgensi Legalisasi Bukti Fotokopi Oleh Panitera Untuk Pembuktian di Persidangan Ketentuan mengenai pembuktian mengatur bahwa dokumen fotokopi yang akan dijadikan sebagai alat bukti, harus dilegalisir dengan cara dicocokkan dengan aslinya, kemudian dinyatakan dan ditandatangani oleh pejabat berwenang bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya.dengan demikian, surat fotocopy tersebut sah apabila dibuktikan pula surat aslinya.

Sedangkan pada waktu yang sama yaitu saat proses hukum disubdit Cyber ditkrimsus Polda Lampung, Subdit Cyber juga menangani kasus video Porno dari seorang model cantik bersama pasangannya yang sampai saat ini kasus tersebut hilang bak ditelan bumi.

“Kami mohon kepada bapak Kapolri dan bapak Kapolda Lampung demi tegaknya supremasi hukum di bumi ruwa jurai, untuk meluruskan kembali terkait dengan alasan penyidik dalam penyitaan barang bukti tersebut, kami meminta apabila terbukti ada rekayasa yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota Polda Lampung pada saat itu agar bisa ditertibkan dan ditindak tegas secara hukum demi mewujudkan profesionalitas Polri di Bumi Ruwa Jurai ini,” tutupnya. (Red)

Tinggalkan Balasan