Sigerlink Lambar. Entah apa yang ada di benak kepala sekolah SDN 1 Bedudu, Baheram, sehingga tega melakukan kekerasan terhadap enam muridnya disaat jam pelajaran berlangsung.
Keenam murid tersebut ditampar secara bergiliran oleh kepala sekolah, dan salah satu murid tersebut berlari sambil menangis menghampiri rumah orang tuanya yang kebetulan tidak jauh dari sekolah tersebut.
Pada saat orang tua murid tersebut yang bernama wahyu mendatangi sekolah, dan menanyakan prihal kejadian tersebut, kepala sekolah SDN 1 Bedudu mengaku hilaf dan menyodorkam tangan untuk saling bermaafan, namun wahyu selalu orang tua murid tidak terima dan menunggu orang tua murid yang lain untuk bersama-sama mendengarkan penjelasan dari kepala sekolah.
Wahyu mengatakan bahwa dirinya yang membesarkan anaknya dari bayi tidak pernah melakukan kekerasan apalagi sampai menampar anaknya dibagian kepala.
Menurut penjelasan baheram selalu kepala sekolah, dirinya emosi sesaat ketika melihat anak-anak tersebut bermain bola namun bukan hanya bermain bola akan tetapo tiang gawangnya pun dibuang, pada saat ditanya satupun dari ke enam murid tersebut tidak ada yang mau mengaku, itulah yang mendasari Baheram secara spontan menampar ke enam murid tersebut, saya reflek dan marah jadi bukan karena dendam ujarnya.
Atas kejadian tersebut, aparat pekon, komite dan korwil perwakilan dinas pendidikan serta orang tua murid mencoba untuk mediasi, namun sampai selesai mediasi tidak ada titik temu, karena tidak semua orang tua siswa sepakat untuk menanda tangani surat perdamaian tersebut.
Sedangkan menurut Alexander Metias, selaku Peratin, dirinya sudah melakukan upaya perdamaian akan tetapi belum ada titik temu, karena tidak semua orang tua murid setuju.
Kami selalu aparatur pekon Bedudu sifatnya hanya menengahi, kami sudah hadir ditengah-tengah mereka sedangkan kami tidak bisa intervensi, karena ini tidak ada titik temunya, ini bukan lagi menjadi ranah kami, biarkan pihak dinas dan yang lainnya untuk melakukan proses selanjutnya, ujar Alex.
Saya tidak mau tanda tangan surat perdamaian itu, kalau dinas pendidikan tidak mau turun tangan dalam masalah ini, terpaksa kita lanjutkan ke proses hukum, karena harus ada pelajaran harus sanksi jadi proses tetap berjalan tutup salah satu orang tua murid. (Marlin)